MAKALAH
MANAJEMEN KONFLIK
TUGAS MATA KULIAH
PERILAKU ADMINISTRASI
DISUSUN OLEH : KELOMPOK III
sekolah tinggi ilmu sosial dan ilmu politik
(stisip mbojo bima)
tahun akademik 2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Organisasi terdiri dari berbagai macam
komponen yang berbeda dan saling memiliki
ketergantungan dalam proses kerjasama
untuk mencapai tujuan tertentu. Perbedaan yang
terdapat dalam organisasi
seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan yang
akhirnya menimbulkan
konflik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya ketika terjadi
suatu
organisasi, maka sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan timbulnya konflik.
Konflik dapat menjadi masalah yang serius
dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun
bentuk dan tingkat kompleksitas
organisasi tersebut, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa
penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat
diperlukan
bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
Makalah ini mencoba menyajikan apa yang
sebenarnya didefinisikan sebagai konflik dalam
suatu organisasi, pandangan
mengenai konflik, sumber dan jenis konflik, serta bagaimana
melaksanakan
manajemen konflik dalam organisasi.
B. PERMASALAHAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis
membatasi masalahnya sebagai berikut :
A.
Definisi
Konflik
B.
Pandangan
Mengenai Konflik
C.
Sumber
Konflik
D.
Jenis-jenis
Konflik
E.
Penerapan
Manajemen Konflik dalam Organisasi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian
aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak
luar dalam suatu konflik. Manajemen
konflik termasuk pada suatu pendekatan yang
berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah
laku) dari pelaku maupun
pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
(interests) dan
interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga,
yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal
ini karena
komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada
kepercayaan terhadap pihak
ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen
konflik merupakan langkah-langkah yang diambil
para pelaku atau pihak ketiga
dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil
tertentu yang mungkin atau
tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian
konflik dan mungkin
atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif,
bermufakat,
atau agresif.
Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan
diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan
masalah (dengan atau tanpa bantuan
pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak
ketiga. Suatu pendekatan
yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk
pada pola komunikasi
(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka
mempengaruhi kepentingan
dan penafsiran terhadap konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah
transformasi konflik secara lebih umum dalam
menggambarkan situasi secara
keseluruhan.
· Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik
yang keras.
· Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku
kekerasan melalui persetujuan damai.
· Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari
kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang
terlibat.
· Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok
yang bermusuhan.
· Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan
politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan
menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu
kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing
tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan
mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan
bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota
merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen
konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif,
artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus
menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan
ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan
diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah
yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau
ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi
konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya),
menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan
peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.
Keseluruhan proses tersebut berlangsung
dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang
mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
B. Teori-teori Konflik
Teori-teori utama mengenai sebab-sebab
konflik adalah:
· Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran: meningkatkan komunikasi dan
saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan
toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada
didalamnya.
· Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak
terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah
keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan
bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan
pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
· Teori negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh
pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran: membantu pihak yang berkonflik
untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan
memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka
daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
· Teori identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan
dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat
mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun
empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
· Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang
berbeda. Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai
budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak
lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
· Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah
sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran: mengubah struktur dan kerangka
kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan
ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak
yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan
pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi Konflik
Terdapat banyak definisi mengenai konflik
yang bisa jadi disebabkan oleh perbedaan pandangan dan setting dimana konflik
terjadi. Dibawah ini bisa terlihat perbedaan definisi tersebut:
· Konflik merupakan suatu bentuk interaksi diantara beberapa pihak
yang berbeda dalam kepentingan, persepsi dan tujuan .
· Konflik adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih banyak
anggota organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka,
atau aktivitas kerja dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan,
penelitian, atau pandangan yang berbeda. Para anggota organisasi atau sub-unit
yang sedang berselisih akan berusaha agar kepentingan atau pandangan mereka
mengungguli yang lainnya .
· Konflik merupakan sebuah situasi dimana dua orang atau lebih
menginginkan tujuan-tujuan yang menurut persepsi mereka dapat dicapai oleh
salah seorang diantara mereka, tetapi hal itu tidak mungkin dicapai oleh kedua
belah pihak .
· Konflik adalah perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk
beroposisi terhadap anggota yang lain, prosesnya dimulai jika satu pihak merasa
bahwa pihak lain telah menghalangi atau akan menghalangi sesuatu yang ada
kaitan dengan dirinya atau hanya jika ada kegiatan yang tidak cocok .
Di antara definisi yang berbeda itu nampak
ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidak
cocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan lain sebagainya.
Terlepas dari faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu konflik, gejala
yang mengemuka dalam suatu organisasi saat terjadi konflik adalah saat individu
atau kelompok menunjukkan sikap “bermusuhan” dengan individu atau kelompok lain
yang berpengaruh terhadap kinerja dalam melakukan aktivitas organisasi.
B. Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat tiga pandangan mengenai konflik.
Hal ini disebabkan karena adanya pandangan yang berbeda mengenai apakah konflik
merugikan, hal yang wajar atau justru harus diciptakan untuk memberikan
stimulus bagi pihak-pihak yang terlibat untuk saling berkompetisi dan menemukan
solusi yang terbaik. Pandangan itu adalah sebagai berikut :
1. Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang
negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini,
konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini
berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua
kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari,
karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian
rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini
cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok
yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis,
tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran
ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan,
sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan
kreatif.
C. Sumber Konflik
Terdapat beberapa hal yang
melatarbelakangi terjadinya konflik. Agus M. Hardjana mengemukakan sepuluh
penyebab munculnya konflik , yaitu:
1. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikas
2. Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dipegang
3. Rebutan dan persaingan dalam hal yang terbatas seperti fasilitas
kerja dan jabatan
4. Masalah wewenang dan tanggung jawab
5. Penafsiran yang berbeda atas satu hal, perkara dan peristiwa yang
sama
6. Kurangnya kerja sama
7. Tidak mentaati tata tertib dan peraturan kerja yang ada
8. Ada usaha untuk menguasai dan merugikan
9. Pelecehan pribadi dan kedudukan
10. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja sehingga orang menjadi
merasa tidak jelas tentang apa yang diharapkan darinya.
Stoner sendiri menyatakan bahwa penyebab
yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
1. Pembagian sumber daya (shared resources)
2. Perbedaan dalam tujuan (differences in goals)
3. Ketergantungan aktivitas kerja (interdependence of work activities)
4. Perbedaan dalam pandangan (differences in values or perceptions)
5. Gaya individu dan ambiguitas organisasi (individual style and
organizational ambiguities).
Robbins sendiri membedakan sumber konflik
yang berasal dari karakteristik perseorangan dalam organisasi dan konflik yang
disebabkan oleh masalah struktural. Dari sini kemudian Robbins menarik
kesimpulan bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan untuk bekerja sama dengan
orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja
atau interaksinya yang formal. Konflik perseorangan ini disebut Robbins dengan
konflik psikologis.
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan
perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural.
Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu:
1. Saling ketergantungan pekerjaan
2. Ketergantungan pekerjaan satu arah
3. Diferensiasi horizontal yang tinggi
4. Formalisasi yang rendah
5. Ketergantungan pada sumber bersama yang langka
6. Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan
7. Pengambilan keputusan partisipatif
8. Keanekaragaman anggota
9. Ketidaksesuaian status
10. Ketakpuasan peran
11. Distorsi komunikasi
D. Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik,
tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang
membagi konflik berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ada yang
membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga yang membagi konflik dilihat
dari posisi seseorang dalam suatu organisasi.
a. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Jenis konflik ini disebut juga konflik
intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi,
Winardi membagi konflik menjadi empat macam.
Keempat jenis konflik tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan
dan bawahan.
2. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik
antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3. Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan
lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya
berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4. Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima macam , yaitu:
1. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik
ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau
karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik
individual ini, menurut Altman, adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik
peranan .
2. Konflik antar-individu (conflict between individuals). Terjadi
karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang
lain.
3. Konflik antara individu dan kelompok (conflict between individuals
and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok tempat ia bekerja.
4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among
groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing
kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk
mencapainya.
Masalah ini terjadi karena pada saat
kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri, mereka
makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka,
dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.
5. Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik
ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak
negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
c. Konflik Dilihat dari Fungsi
Dilihat dari fungsi, Robbins membagi
konflik menjadi dua macam, yaitu:
1. Konflik fungsional (Functional Conflict)
Konflik fungsional adalah konflik yang
mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
2. Konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict).
Konflik disfungsional adalah konflik yang
merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan
apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur).
Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional
bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan
apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik
tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik
tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi
individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika
konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja
kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
E. Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Upaya penanganan konflik sangat penting
dilakukan, hal ini disebabkan karena setiap jenis perubahan dalam suatu
organisasi cenderung mendatangkan konflik. Perubahan institusional yang
terjadi, baik direncanakan atau tidak, tidak hanya berdampak pada perubahan
struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan
pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu,
jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu
keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang
terlibat.
Untuk itulah diperlukan upaya untuk
mengelola konflik secara serius agar keberlangsungan suatu organisasi tidak
terganggu.
Stoner mengemukakan tiga cara dalam
pengelolaan konflik, yaitu:
a. Merangsang konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi
kerjanya rendah karena tingkat konflik yang terlalu kecil. Termasuk dalam cara
ini adalah:
· Minta bantuan orang luar
· Menyimpang dari peraturan (going against
the book)
· Menata kembali struktur organisasi
· Menggalakkan kompetisi
· Memilih manajer yang cocok
b. Meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi
atau kontra-produktif
c. Menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang
disampaikan Stoner adalah:
· Dominasi dan penguasaan, hal ini dilakukan
dengan cara paksaan, perlunakan, penghindaran, dan penentuan melalui suara
terbanyak.
· Kompromi
· Pemecahan masalah secara menyeluruh.
Konflik yang sudah terjadi juga bisa
diselesaikan lewat perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog
terus menerus antar kelompok untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum yang
menguntungkan kedua belah pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama
dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan. Gaya perundingan
untuk mengelola konflik dapat dilakukan dengan cara :
· pencairan, yaitu dengan melakukan dialog untuk mendapat suatu
pengertian
· keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka
apalagi jika konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang
emosional
· belajar empati, yaitu dengan melihat kondisi dan kecemasan orang
lain sehingga didapatkan pengertian baru mengenai orang lain
· mencari tema bersama, pihak-pihak yang terlibat dapat dibantu
dengan cara mencari tujuan-tujuan bersama
· menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan dengan jalan mencari
alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan.
· menanggapi berbagai alternatif, setelah ditemukan
alternatif-alternatif penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik mempelajari dan memberikan tanggapan
· mencari penyelesaian, sejumlah alternatif yang sudah dipelajari
secara mendalam dapat diperoleh suatu konsensus untuk menetapkan suatu
penyelesaian
· membuka jalan buntu, kadangkala ditemukan jalan buntu sehingga
pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman dapat diikutsertakan untuk
menyelesaikan masalah
· mengikat diri kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah
dihasilkan penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat dapat
memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan diri pada
penyelesaian itu
· mengikat seluruh kelompok, tahap terakhir dari langkah
penyelesaian konflik adalah dengan penerimaan atas suatu penyelesaian dari
pihak-pihak yang terlibat konflik.
Model penanganan konflik yang lain juga
disampaikan oleh Sondang, yaitu dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun
dikelola dengan cara :
· Bersaing
· Kolaborasi
· Mengelak
· Akomodatif
· Kompromi
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto,
yaitu dengan secara dini melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu
dengan cara :
· Menghindari konflik
· Mengaburkan konflik
· Mengatasi konflik dengan cara:
1) Dengan kekuatan (win lose
solution)
2) Dengan perundingan.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Konflik dapat terjadi dalam organisasi
apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu
mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan
organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya
konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan
suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik
serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh
solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik
maka akn diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan
selalu terus terjadi dalam organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Garry
Dessler. 1989. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 2, Jakarta : PT. Prehelinso
Hani Handoko. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE
Werther, W.B. Jr & Davis, K. 1996. Human Resource and Personel Management. USA: Mc Graw-Hill, Inc
Hani Handoko. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE
Werther, W.B. Jr & Davis, K. 1996. Human Resource and Personel Management. USA: Mc Graw-Hill, Inc
Blanchard
Ken, dan Paul Hersey, Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber D
William P. Anthony, Pamela L. Perrewe, 1996, Strategic Human Resouce Management, The Dryden Press aya Manusia, Jakarta: Erlangga, 1986
Brown, L. Dave, 1984. Managing Conflict Among Groups, dalam Organizational Psychology, Herbert A. Simon (ed.), New Jersey: Prentice Hall Inc.,
William P. Anthony, Pamela L. Perrewe, 1996, Strategic Human Resouce Management, The Dryden Press aya Manusia, Jakarta: Erlangga, 1986
Brown, L. Dave, 1984. Managing Conflict Among Groups, dalam Organizational Psychology, Herbert A. Simon (ed.), New Jersey: Prentice Hall Inc.,
Posting Komentar