Aku bukan pencinta binatang. Apalagi anjing! Aduh…enggak deh! Tapi air mataku
ini pernah mengalir untuk Bobi. Seekor anjing.
Setelah married aku pindah ke Denpasar Bali. Dulu kamar Mas Rio kecil, di lantai dua. Tapi mengingat kami udah berkeluarga, ibu kos yang baik hati memberikan tempat di lantai tiga.
Di lantai tiga ada sebuah kamar lumayan besar sehingga aku bisa menata ruang makan dan dapur kecil di dalamnya. Ibu kos juga memberikan spring bed, meja makan plus kursi-kursinya. Di sana kami sendirian karena memang cuma ada satu tempat saja. Di luar kamar sudah terbentang teras dengan sebuah gazebo di sudut lantai tiga. Di sisi lain ada deretan ruang, satu buat kamar mandi, sedangkan yang satu buat gudang. Di sana juga terdapat sebuah kursi sofa untuk duduk santai saat sore tiba.
Saat pertama kali pindah kesana, aku langsung jatuh cinta pada tempat itu. Nggak jarang saat sore tiba dan Mas Rio lagi kerja, aku sering menghabiskan waktu duduk termenung di gazebo depan kamar. Memandangi kota Denpasar yang indah, terkadang sayup-sayup terdengar gamelan bali dari tempat sembahyang yang bertebaran di bawah sana. Hati ini rasanya tenaaaang…gak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Tapi seringkali ketenanganku terusik. Bobi! Anjing hitam besar itu kerasan tiduran di kursi sofa depan kamarku. Padahal jika mau ke kamar mandi aku harus melewatinya dan dia menggeram sambil menegakkan kepalanya! Siapa yang nggak takut coba? Tapi Mas Rio bilang Bobi Anjing yang baik dan penurut, jadi aku nggak perlu takut. Kalo ada Mas Rio sih enak, mo ke kamar mandi dianterin sama dia, susahnya kalo dia lagi kerja...pernah aku sampe jauh malem nggak mandi gara-gara takut mau keluar kamar karena ada Bobi duduk di situ.
Tapi lama-lama kalo gitu terus, aku kan susah jadinya...akhirnya pelan-pelan aku mulai memberanikan diri keluar kamar meskipun ada dia. Tapi aku berjalan cepet-cepet tanpa berani melihat ke arah dia sama sekali. Bobi masih suka menggeram jika melihatku dan kadang suara geramannya itulah yang membuatku ngeri sendiri.
Suatu saat aku terkejut saat keluar kamar mandi, melihatnya duduk tegak di depan pintu. Duh jantungku rasanya berhenti, “Apa maunya Anjing ini?” pikirku. Dan ternyata dia diam saja saat aku melewatinya. Akhirnya hal itu dilakukannya terus, setiap aku ke kamar mandi, dia duduk di depan pintu sampai aku selesai mandi.
Nggak hanya itu, setiap malam dia juga duduk di depan pintu kamarku dan kalau terdengar dia menggonggong, berarti ada orang yang naik ke atas menuju kamarku. Setiap hari begitu, tiba-tiba membuatku nyaman, sepertinya dia tengah menjagaku. Tidak hanya itu dia juga mengantarku saban pagi belanja ke pasar Sanglah. Ia mengantarku sampai aku menyeberang jalan dan diam di situ sampai aku kembali lalu mebuntutiku kembali ke kos-kosan.
Terus-terang, lama-lama aku jadi sayang sama Bobi. Nggak terasa saban pagi saat pisahan hendak nyeberang ke pasar, aku memandangnya dan berkata,” Aku belanja dulu ya, Bob, kamu tunggu disini.” Dan setiap malam justru menyenangkan jika aku keluar kamar dan duduk-duduk di gazebo luar dan memandang ke bawah, ke arah kota denpasar, dengan dia di sampingku. Sama sekali aku tidak merasakan takut , malah merasa nyaman. Kalau saja, agamaku tidak melarang dan menajiskan Anjing, rasanya aku ingin mengusap-usap lehernya sebagai tanda terima kasih atas sikapnya yang menyenangkan itu.
Saat akhirnya Mas Rio pindah ke Surabaya, bagian terberat adalah berpisah dengan Bobi. Aku sangat takjub bahwa aku merasa sedih tidak bisa menemui Bobi lagi. Terakhir kali, aku dan Mas Rio berjalan-jalan keluar dan dia membuntuti kami sampe menyeberang jalan! Mas Rio menyuruhnya pulang, karena takut dia hilang kalo mengikuti kami berdua terus. Bobi akhirnya pulang juga dengan kepala tertunduk. Aku heran dia mengikuti kami sejauh itu dan sempat khawatir dia tersesat atau hilang, tapi ternyata sepulang jalan-jalan dia sudah tertidur di muka kamarku.
Esoknya aku benar-benar harus pergi. Berpamitan pada semua orang yang kukenal. Dan juga pada Bobi. Dia membuntutiku sampai di dalam taxi dan terus berlari hingga ujung gang dan berhenti disitu. Dari spion kulihat dia tetap berdiri hingga aku tak bisa melihatnya lagi.
Percaya atau tidak, seumur hidupku baru kali ini aku menangis untuk seekor binatang. Anjing besar hitam yang semula tampak mengerikan itu. Aku benar-benar meneteskan air mata dan perih menyadari mungkin tak akan pernah bertemu Bobi lagi. Masih terbayang sosoknya yang berlari-lari kecil di belakangku tiap pagi menemaniku berbelanja. Ia menggonggong pada setiap Anjing yang ditemuinya di jalan, seolah berkata, ” Jangan ganggu dia, atau kugigit dengan taringku ini!” dan anjing-anjing lain pun berhenti menyalak melihatnya.
Ketika Mas Rio sempat ke Bali, iseng-iseng aku bertanya apakah dia nggak mampir ke tempat kos kita yang dulu.
“Buat apa?’
“Pengen tahu Bobi sekarang gimana...”
Kata Mas Rio sih, mungkin Bobi wes nggak mengenali dia lagi, seperti biasa kalau ada orang asing, dia pasti akan menggonggong keras dan bersikap menyerang. Mungkin itu juga reaksinya saat bertemu dengannya.
“Mungkin juga dia sudah mati, Ma...”
Mendengar itu aku benar-benar sedih.
Bobi...Bobi...semoga dia masih hidup ya, satu-satunya binatang yang pernah kusayangi dan bila Tuhan mempertemukan kita lagi, moga-moga dia masih mengingatku.
Setelah married aku pindah ke Denpasar Bali. Dulu kamar Mas Rio kecil, di lantai dua. Tapi mengingat kami udah berkeluarga, ibu kos yang baik hati memberikan tempat di lantai tiga.
Di lantai tiga ada sebuah kamar lumayan besar sehingga aku bisa menata ruang makan dan dapur kecil di dalamnya. Ibu kos juga memberikan spring bed, meja makan plus kursi-kursinya. Di sana kami sendirian karena memang cuma ada satu tempat saja. Di luar kamar sudah terbentang teras dengan sebuah gazebo di sudut lantai tiga. Di sisi lain ada deretan ruang, satu buat kamar mandi, sedangkan yang satu buat gudang. Di sana juga terdapat sebuah kursi sofa untuk duduk santai saat sore tiba.
Saat pertama kali pindah kesana, aku langsung jatuh cinta pada tempat itu. Nggak jarang saat sore tiba dan Mas Rio lagi kerja, aku sering menghabiskan waktu duduk termenung di gazebo depan kamar. Memandangi kota Denpasar yang indah, terkadang sayup-sayup terdengar gamelan bali dari tempat sembahyang yang bertebaran di bawah sana. Hati ini rasanya tenaaaang…gak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Tapi seringkali ketenanganku terusik. Bobi! Anjing hitam besar itu kerasan tiduran di kursi sofa depan kamarku. Padahal jika mau ke kamar mandi aku harus melewatinya dan dia menggeram sambil menegakkan kepalanya! Siapa yang nggak takut coba? Tapi Mas Rio bilang Bobi Anjing yang baik dan penurut, jadi aku nggak perlu takut. Kalo ada Mas Rio sih enak, mo ke kamar mandi dianterin sama dia, susahnya kalo dia lagi kerja...pernah aku sampe jauh malem nggak mandi gara-gara takut mau keluar kamar karena ada Bobi duduk di situ.
Tapi lama-lama kalo gitu terus, aku kan susah jadinya...akhirnya pelan-pelan aku mulai memberanikan diri keluar kamar meskipun ada dia. Tapi aku berjalan cepet-cepet tanpa berani melihat ke arah dia sama sekali. Bobi masih suka menggeram jika melihatku dan kadang suara geramannya itulah yang membuatku ngeri sendiri.
Suatu saat aku terkejut saat keluar kamar mandi, melihatnya duduk tegak di depan pintu. Duh jantungku rasanya berhenti, “Apa maunya Anjing ini?” pikirku. Dan ternyata dia diam saja saat aku melewatinya. Akhirnya hal itu dilakukannya terus, setiap aku ke kamar mandi, dia duduk di depan pintu sampai aku selesai mandi.
Nggak hanya itu, setiap malam dia juga duduk di depan pintu kamarku dan kalau terdengar dia menggonggong, berarti ada orang yang naik ke atas menuju kamarku. Setiap hari begitu, tiba-tiba membuatku nyaman, sepertinya dia tengah menjagaku. Tidak hanya itu dia juga mengantarku saban pagi belanja ke pasar Sanglah. Ia mengantarku sampai aku menyeberang jalan dan diam di situ sampai aku kembali lalu mebuntutiku kembali ke kos-kosan.
Terus-terang, lama-lama aku jadi sayang sama Bobi. Nggak terasa saban pagi saat pisahan hendak nyeberang ke pasar, aku memandangnya dan berkata,” Aku belanja dulu ya, Bob, kamu tunggu disini.” Dan setiap malam justru menyenangkan jika aku keluar kamar dan duduk-duduk di gazebo luar dan memandang ke bawah, ke arah kota denpasar, dengan dia di sampingku. Sama sekali aku tidak merasakan takut , malah merasa nyaman. Kalau saja, agamaku tidak melarang dan menajiskan Anjing, rasanya aku ingin mengusap-usap lehernya sebagai tanda terima kasih atas sikapnya yang menyenangkan itu.
Saat akhirnya Mas Rio pindah ke Surabaya, bagian terberat adalah berpisah dengan Bobi. Aku sangat takjub bahwa aku merasa sedih tidak bisa menemui Bobi lagi. Terakhir kali, aku dan Mas Rio berjalan-jalan keluar dan dia membuntuti kami sampe menyeberang jalan! Mas Rio menyuruhnya pulang, karena takut dia hilang kalo mengikuti kami berdua terus. Bobi akhirnya pulang juga dengan kepala tertunduk. Aku heran dia mengikuti kami sejauh itu dan sempat khawatir dia tersesat atau hilang, tapi ternyata sepulang jalan-jalan dia sudah tertidur di muka kamarku.
Esoknya aku benar-benar harus pergi. Berpamitan pada semua orang yang kukenal. Dan juga pada Bobi. Dia membuntutiku sampai di dalam taxi dan terus berlari hingga ujung gang dan berhenti disitu. Dari spion kulihat dia tetap berdiri hingga aku tak bisa melihatnya lagi.
Percaya atau tidak, seumur hidupku baru kali ini aku menangis untuk seekor binatang. Anjing besar hitam yang semula tampak mengerikan itu. Aku benar-benar meneteskan air mata dan perih menyadari mungkin tak akan pernah bertemu Bobi lagi. Masih terbayang sosoknya yang berlari-lari kecil di belakangku tiap pagi menemaniku berbelanja. Ia menggonggong pada setiap Anjing yang ditemuinya di jalan, seolah berkata, ” Jangan ganggu dia, atau kugigit dengan taringku ini!” dan anjing-anjing lain pun berhenti menyalak melihatnya.
Ketika Mas Rio sempat ke Bali, iseng-iseng aku bertanya apakah dia nggak mampir ke tempat kos kita yang dulu.
“Buat apa?’
“Pengen tahu Bobi sekarang gimana...”
Kata Mas Rio sih, mungkin Bobi wes nggak mengenali dia lagi, seperti biasa kalau ada orang asing, dia pasti akan menggonggong keras dan bersikap menyerang. Mungkin itu juga reaksinya saat bertemu dengannya.
“Mungkin juga dia sudah mati, Ma...”
Mendengar itu aku benar-benar sedih.
Bobi...Bobi...semoga dia masih hidup ya, satu-satunya binatang yang pernah kusayangi dan bila Tuhan mempertemukan kita lagi, moga-moga dia masih mengingatku.
Oleh : Dian Arie.S.O
**Terima kasih karna menyempatkan waktunya untuk membaca tulisan ini**
**Terima kasih karna menyempatkan waktunya untuk membaca tulisan ini**
Posting Komentar